Ilmu amat tinggi kedudukannya di dalam Islam. Demikian pula mereka yang mengajarkan dan menebarkan ilmu.
Tanbihun.com—Tiap bulan lahir ratusan doktor dan kaum professional di dunia dari rahim dunia pendidikan. Namun berapa banyak murid yang menghormati guru-guru
mereka?. Saat ini, era di mana sikap santun dan hormat yang telah
menipis bagi banyak orang untuk menghormati jasa guru. Tak sedikit orang
cerdik pandai lahir ke dunia namun mereka lupa seolah-olah kepandaian
dan kekayaan ilmunya seolah jadi dengan sendirinya tanpa sentuhan dan
doa para guru-guru mereka yang mengajarkan secara ikhlas.
Padahal Islam sangat juga menganjurkan agar umatnya memberikan pengormatan kepada para ulama dan guru-guru mereka.
Begitu pentingnya sikap dan penghormatan terhadap para guru-guru bagi para pencari ilmu (murid), maka di dunia pesantren
diajarkan kitab Ta’lim Muta’allim. Dalam kitab ini diajarkant
bagaimana cara menghormati guru antara lain disebutkan; tidak boleh
berjalan di depan gurunya, tidak duduk di tempat yang diduduki gurunya,
bila dihadapan gurunya tidak memulai pembicaraan –bahkan mencari ilmu
lain– kecuali atas izinnya.Intinya, sang murid haruslah mencari
keridhoaan dari gurunya. Itulah salah satu diantara adab dan kesopanan
antara murid dan guru dalam khasanah Islam.
Diriwayatkan oleh Imam At Thabrani, bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam (SAW) bersabda: “Pelajarilah ilmu, pelajarilah ilmu
dengan ketenangan dan sikap hormat serta tawadhu’lah kepada orang yang
mengajarimu.”
Ilmu tidak akan bisa diperoleh secara sempurna kecuali dengan
diiringi sifat tawadhu’ si murid terhadap gurunya, karena keridhaan guru
terhadap murid akan membantu proses penyerapan ilmu. Sehingga Imam Al
Munawi di Faidh Al Qadir (3/253) dalam mensyarh hadits di atas menyatakan bahwa tawadhu’ murid terhadap guru merupakan cermin ketinggian kemulyaan si murid.
Tunduknya kepada guru justru merupakan izzah dan kehormatan baginya.
Perilaku para sahabat, yang memperoleh pendidikan langsung dari
Rasulullah SAW layak untuk dijadikan suri tauladan. Ibnu Abbas, sahabat
mulia yang amat dekat dengan Rasulullah mempersilahkan Zain Bin Tsabit,
untuk naik di atas kendaraannya, sedangkan ia sendiri yang menuntunnya.
“Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami”, ucap
Ibnu Abbas. Zaid Bin Tsabit sendiri mencium tangan Ibnu Abbas.
“Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ahli bait Rasulullah,”
balas Zaid.
Imam Al Munawi juga menjelaskan, bahwa As Sulaimi pernah menceritakan
pengormatan orang-orang terdahulu terhadap ulama mereka. Pada zamannya,
orang-orang tidak akan bertanya sesuatu kepada Said bin Musayyab, faqih
tabi’in, kecuali meminta izin terlebih dahulu, seperti layaknya
seseorang yang sedang berhadapan dengan khalifah.
Rupanya, sifat ini juga “menurun” kepada para ulama. Tengoklah
bagaimana rasa hormat Imam Abu Hanifah kepada guru beliau. “Aku tidak
pernah shalat setelah guruku, Hammad, wafat, kecuali aku memintakan
ampun untuknya dan untuk orang tuaku”. Rupanya perbuatan ini “menurun”
juga kepada Abu Yusuf. Murid Abu Hanifah, ia selalu mendoakan Abu
Hanifah sebelum mendoakan kedua orang tuanya sendiri, sebagaimana
disebutkan dalam Manaqib Al Imam Abu Hanifah, oleh Al Muwaffiq Al
Khawarizmi (2/7).
Pengormatan Imam As Syaf’i kepada guru beliau Imam Malik, juga bisa
kita ambil pelajaran. “Di hadapan Malik aku membuka lembaran-lembaran
dengan sangat hati-hati,
agar jatuhnya lembaran kertas itu tidak terdengar”. Rabi’, murid Imam
As Syafi’i juga tidak ingin gurunya itu melihatnya ketika sedang minum,
sebagaimana diebutkan Al Munawi dalam Faidh Al Qadir (3/352)
Dalam Tarikh Al Baghdadi (2/62,66) disebutkan, Abdullah, putra dari
Imam Ahmad bertanya kepada ayahnya. “Syafi’i itu seperti apa orangnya,
hingga aku melihat ayah benyak mendoakannya?”. “Wahai anakku, Syafi’i
seperti matahai bagi dunia..”, jawab Ahmad bin Hanbal. Sebagaimana
disebutkan beberapa riwayat, bahwa selama tiga puluh tahun Imam Ahmad
mendoakan dan memintakan ampunan untuk guru beliau Imam As Syafi’i.
Dengan guru beliau yang lain pun demikian. Imam Ahmad pernah berguru
juga kepada Husyaim bin Bashir Al Wasithi selama lima tahun. ”Aku tidak
pernah bertanya kepadanya, kecuali dua masalah saja karena rasa hormat.”
Kisah ini disebutkan dalam Al ’Ilal fi Ma’rifati Ar Rijal (1/145).
Sikap hormat dan tawadhu’mereka kapada para guru amat tinggi, bahkan
dalam berdoa sendiri mereka mendahulukan para guru, baru kemudian orang
tua. Kenapa dimikian? Imam Al Ghazali menjelaskannya dalam Al Ikhya’
(1/55). ”Hak para guru lebih besar daripada hak orang tua. Orang tua
merupakan sebab kehadiran manusia di dunia fana, sedangkan guru
bermanfaat bagi manusia untuk mengarungi kehidupan kekal. Kalaulah bukan
karena jeri payah guru, maka usaha orang tua akan sia-sia dan tid
bermanfaat. Karena para guru yang memberikan manusia bekal menuju
kehidupan akhirat yang kekal”.
Saat ini, adab yang dicontohkan para ulama salaf ini sudah hampir
pupus karena terkikis oleh kebodohan, sehingga tidaklah heran jika ada
pencari Ilmu yang mencela gurunya sendiri, dikarenakan berbeda pendapat
dalam masalah furu’. Sejauh apapun perbedaan kita, guru tetaplah guru. Nah, mudah-mudahan kita tidak termasuk dari golongan yang seperti ini.