MENEROPONG HIKMAH DI BALIK TSUNAMI ACEH
(Refleksi 7 tahun Tsunami Aceh)
Fauzi Saleh
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Hari
26 Desember mengingatkan kita kepada kefanaan dan perubahan alam jagat
raya ini. Ternyata tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.
Itulah kata untuk merangkai peristiwa Gempa dan Tsunami yang
menguncangkan bumi Iskandar Muda dan beberapa wilayah lainnya. Padahal
sehari sebelumnya, suami masih akrab dengan istrinya, anak masih dalam
pelukan orang tuanya, tetangga masih bercengkerama dan bersukaria. Rumah
dengan segala interiornya cukup memberikan kenyamanan, mobil mewah masih terpakir di dalam garasi, toko-toko masih tegak di pasar-pasar.
Di
hari ahad yang cerah, tak pernah ada rasa syak wa sangka, suka ria
berubah menjadi duka nestapa. Kisah pesta yang meriah langsung berubah
suram. Peristiwa lima belas menit meninggalkan duka mendalam. Betapa
banyak anak yatim, wanita menjadi janda, yang laki menjadi duda, yang
kaya berubah menjadi miskin papa. Perhiasan emas berlian seolah tak ada
artinya. Di hari, tidak hanya harta tetapi nyawa-nyawa melayang, mulai
orang tua hingga anak-anak belia.
Memang,
Allah swt telah menegaskan bahwa semua makhluk di pentas dunia ini akan
binasa, kecuali Dzat Tuhan Yang Maha Mulia. Tidak ada satu pun manusia
yang sanggup mengatakan “tidak” terhadap ketentuan-Nya. Allah
berkehendak mengalahkan semua kehendak manusia. Allah hanya dengan “kun
fayakun”-Nya semua akan terlaksana.
Di balik itu semua, musibah dan bencana datang dengan seribu satu rahasia dan hikmah. Sebuah
pertanyaan sederhana umpamanya, “kenapa musibah datang tiba-tiba, tidak
ada yang menyangka?” Hanya “hikmah” yang mampu menjawabnya. Mari kita
lihat, di hari cerah dan semua harapan manusia penuh akan kebahagiaan di
hari itu, ternyata takdir berkehendak lain. Di hari manusia merasa
aman, justeru sebenarnya tidak aman, di hari manusia merasa tenteram,
justeru kegoncangan. Fenomena semacam ini sebenarnya menyadarkan manusia
betapa kelemahan dan kenaifannya dibandingkan dengan Dzat Pencipta.
Dengan kelemahan itu, manusia senanti menggantung diri kepada Allah swt.
Memang,
kajian dan penelitian setumpuk menjelaskan gejala-gejala alam. Tetapi
semua itu hanya pada tataran kebiasaan atau teoritis semata. Tidak satu
makhluk mampu menghalangi bencana. Bencana itu ketentuan Yang
Kuasa. Hari ini mungkin kita berkeinginan untuk tinggal di gunung
karena takut akan air laut, suatu saat kita akan menghindar gunung
karena takut meletus. Di saat yang lain kita pilih di kota karena merasa
ramai, tetapi suatu lagi kita pindah ke desa merasa tenteram. Ternyata
dimana pun kita berada di hadapan Allah adalah makhluk yang sama. Tempat
tidak bisa menyelamatkan manusia. Gunung tidak bisa menyelamatkan.
Lautan tidak bisa menenteramkan. Kota dan desa bukanlah pilihan,
ternyata semua terpulang kepada kehendak Tuhan.
Bencana
yang didatangkan Tuhan bisa berupa musibah dan cobaan, bisa juga bentuk
azab. Musibah karena Allah menguji hamba-hambanya saleh dan menguji
kesabaran mereka. Semakin saleh seseorang semakin bertambah ujian.
Peringkat yang paling tinggi digapai para nabi dan rasul dengan sebutuan
‘ulul azmi.
Mari
kita telusuri hikmah bencana dalam rahasia waktunya sebagaimana
digambarkan Allah swt dalam Qs al-A’raf: 97-98 yang artinya sebagai
berikut:
Maka
apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan
kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau
apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan
kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka
sedang bermain?
Dalam
dua ayat di atas, Allah memilih waktu malam untuk mendatangkan azab
kepada manusia dimana mereka dalam keadaan tidur. Tidur merupakan puncak
ketenangan manusia dan semua persoalan kehidupan terlupakan saat itu,
tetapi pada saat yang sama Allah menimpa azab. Rahasia di balik itu ini
adalah tidak ada satu pun manusia yang dapat menyelamatkan dirinya
sendiri apalagi untuk menyelamatkan orang lain.
Pada Qs al-A’raf 98 Allah menerangkan bahwa waktu dhuha
(matahari sepenggalan naik) juga merupakan moment diturunkan azab-Nya.
Posisi waktu ini adalah waktu kesibukan dan aktivitas yang menghabiskan
daya pikir untuk melaksanakan berbagai hal atau di hari libur merupakan
melepaskan penat dan lelah dengan bermain, berolah raga, santai dan
seterusnya.
Tidak
banyak manusia menduga azab dan bencana datang saat – saat seperti itu.
Kalau kita reflesikan kejadian tsunami di kawasan kita, memang musibah
datang ketika manusia sedang asik dengan olah raga, santai dan
seterusnya. Banyak di antara mereka yang tidak percaya kalau air laut
naik ke darat dan datang dalam waktu sekejap.
Hikmah
di atas mengharuskan kita memberikan sebuah catatan penting bahwa tidak
ada satupun manusia yang merasa aman dari azab dan bencana dari Allah
swt. “Tidak merasa aman” maknanya semua manusia baik secara individu
maupun kolektif berpeluang besar untuk menghadapi azab dan bencana.
Dengan perasaan demikian, manusia harus menjaga dan waspada terhadap
amal perbuatan dalam kesehariannya.
Sisi lain yang perlu diperhatikan adalah bencana datang untuk menjemput harta, cinta dan nyawa. Harta yang dibanggakan dan kerap menjadi lambing kesombongan dan keangkuhan menjadi sasaran penting bencana dan azab itu.
Bencana
menjemput cinta dengan kata lain bentuk kasih sayang akan sirna dan
diputuskan bencana. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya
ternyata harus berpisah selamanya. Sekuat apapun manusia, ternyata harus
pasrah dan bertawakkal kepada Allah swt. Hilanglah sifat keangkuhan,
kesombongan selama ini. Bukanlah harta dan tahta menjadi salah satu
factor berbangga dan membuat kita berbeda. Ternyata di hadapan Yang
Kuasa sama, antara si miskin dan si kaya, si hina dan yang mulia, si
cantik dan hitam durja.
Tidak
ada yang paling sengsara selain kehilangan orang yang disayangi.
Anak-anak yang pergi untuk selamanya merupakan permata hati yang Allah
anugerahkan kepada kita, ternyata diberikan sementara diambil kembali.
Hikmah dibalik peristiwa ini adalah mengembalikan manusia ke alam fitrahnya yakni ketawadhua’an, rendah hati, merasa bagian dari orang lain dan memberikan terbaik untuk kemaslahatan
sesama. Musibah tidak ada yang sia-sia. Orang yang bersabar dengan
kepergian anaknya maka Allah menganjarkan dengan balasan yang besar.
Ketika anak dicabut nyawanya oleh sang Izrail, Allah bertanya: bagaimana
engkau tinggalkan hamba-KU. Malaikat menjawab: Ya Allah mereka
bersaabar dan mengucapkan Innnalillahi”Allah berfirman: bangunkan istana
untuknya di surga.
Berikutnya,
musibah datang menjemput nyawa. Semua orang ingin hidup. Keinginan
manusia tidak selamanya sejalan dengan keinginan Allah swt. Manusia
pasti kalah, Allah lah Yang Maha Menang.
Peristiwa
ini semoga semakin mendekatkan diri kita kepada Allah swt. Bahagia atau
sengsara hakikatnya tergantung tingkat kedekatan (taqarrub)
makhluk dengan Khaliqnya. Gempa dan tsunami tujuh tahun lalu adalah
secuil di antara bencana yang dicoba, drama kehidupan ini memang belum
berakhir, berbuatlah yang terbaik untuk kebahagian yang abadi.