Kenapa Pesawat dan Helikopter TNI Indonesia sering jatuh sehingga lebih dari 150 orang tewas di tahun 2008-2009?
Kenapa 120 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan (versi Bank Dunia)?
Kenapa meski SD-SMP gratis tapi SMU dan Perguruan Tinggi Negeri justru mahal dan tidak terjangkau bagi rakyat miskin?
Kenapa pelayanan kesehatan umum di Indonesia sangat mahal dan tidak terjangkau?
Kenapa korupsi merajalela di Indonesia?
Kenapa rel kereta api dan kabel telpon dicuri?
Kenapa penculikan anak sering terjadi, begitu pula perampokan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa?
Kenapa Hutang Luar Negeri Indonesia terus meningkat dari Rp 1.200 trilyun di tahun 2004 jadi Rp 1.600 trilyun di tahun 2009?
Kenapa Indonesia selalu bergantung pada Investor Asing dan jika tak ada Investor Asing datang maka pembangunan tidak berjalan?
Jawaban dari semua pertanyaan di atas
adalah karena Indonesia tidak punya cukup uang. Kenapa tidak punya
cukup uang? Karena kekayaan alam Indonesia dikuras asing dan
perekonomiannya dikuasai asing. Contohnya untuk tambang emas dan perak
di Papua, Freeport dapat 99% sementara 230 juta rakyat Indonesia harus
puas dgn 1% saja. Bagaimana Indonesia tidak miskin?
Akibatnya, mayoritas rakyat Indonesia
hidup dalam kemiskinan. Sebagian dari mereka terpaksa mencuri,
menculik, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang. Seorang
anggota Kapak Merah yang didor polisi berkata, “Biarlah saya ditembak
mati. Habis saya cuma lulus SD. Cari kerja susah. Jadi merampok guna
mendapatkan uang”
Pemerintah tidak bisa membeli pesawat
dan helikopter baru untuk menggantikan pesawat dan helikopter lama yang
umurnya sudah 30 tahun lebih. Pemerintah hanya bisa memberi bantuan Rp
100 ribu/bulan untuk kurang dari 40 juta rakyat Indonesia. Itu pun BLT
tidak bisa berjalan rutin setiap bulan. Pemerintah tidak bisa membiayai
penuh pendidikan dan kesehatan sehingga mayoritas rakyat Indonesia meski
tergolong miskin versi Bank Dunia harus membayar mahal untuk pendidikan
dan kesehatan.
Dengan mahalnya biaya pendidikan di
SMU dan Perguruan Tinggi Negeri, maka jika zaman ORBA mayoritas rakyat
lulusan SMA, maka dalam 5-10 tahun mendatang jika kebijakan Ekonomi
tidak berubah rata-rata pendidikan hanya lulus SMP saja.
Karena pemerintah tidak punya cukup
uang, maka terpaksa harus berhutang dan menggantungkan pada datangnya
Investor Asing. Jika tidak, pembangunan tidak akan jalan. Menurut
penganut paham Ekonomi Neoliberalisme tanpa hutang tidak mungkin ada
pembangunan. Padahal kalau hutang sudah membukit dan si peminjam sampai
mendikte bangsa Indonesia untuk menyerahkan kekayaan alam dan menjual
BUMN yang dimiliki serta menaikkan berbagai harga yang menyengsarakan
rakyat, itu sudah tidak sehat lagi.
Hutang Indonesia yang sudah mencapai
68% dari GNP jelas sudah sangat besar dibanding Singapura yang hanya
14%, Arab Saudi 11%, Iran 8%, atau bahkan Malta yang 0%! Jangan “Besar
Pasak daripada Tiang!” begitu kata-kata yang bijak dari nenek moyang
kita.
Korupsi merajalela di negara kita
karena gaji pejabat dan pegawai negeri di Indonesia sangat kecil.
Menurut seorang staf Bappenas, GAJI POKOK pejabat tertinggi hanya Rp 3
juta. Padahal di AS, gaji pengantar Pizza saja yang menurut ukuran sana
miskin, mencapai Rp 14 juta. Itu pun belum termasuk Tips!
Gaji Presiden Indonesia kurang dari
Rp 70 juta/bulan. Kekayaan Presiden SBY “hanya” RP 8,5 milyar! Padahal
gaji CEO Chevron (satu perusahaan migas asing yang beroperasi di
Indonesia) mencapai US$ 7,8 juta/tahun atau Rp 7,1 milyar/bulan. Artinya
dalam 30 tahun masa kerja, CEO perusahaan migas asing ini pendapatannya
mencapai Rp 2,5 trilyun! Itu baru satu orang. Kalau Direksi ada 5 orang
dan komisaris ada 5 orang, semuanya bisa mendapat Rp 12 trilyun.
Darimana uang untuk menggaji mereka sebesar itu? Di antaranya ya dari
minyak dan gas Indonesia!
Coba anda bayangkan, jika Dirut
perusahaan migas asing total gajinya mencapai Rp 2,5 trilyun, sementara
Dirut BUMN Pertamina hanya Rp 100 juta/bulan atau Rp 36 milyar, mana
yang lebih banyak mengambil uang dari kekayaan alam Indonesia? Tentu
Dirut perusahaan asing bukan? Bahkan seandainya Dirut BUMN itu korupsi
Rp 1 trilyun pun tetap saja lebih banyak uang yang diambil Dirut
perusahaan asing dari bumi Indonesia dengan gaji raksasanya yang
“legal.”
Silahkan lihat Daftar Perusahaan Terkaya versi Forbes 500:
1. Exxon Mobil, pendapatan $390.3 billion/tahun, gaji CEO, Rex W. Tillerson, $4.12M/tahun
3. Shell, pendapatan $355.8 billion/tahun, gaji CEO, Jeroen van der Veer, €7,509,244
4. British Petroleum, pendapatan $292 billion/tahun, gaji CEO, Tony Hayward, $4.73M
6. Total S.A., pendapatan $217.6
7. Chevron Corp., pendapatan 214.1 billion/tahun, gaji CEO, David J. O’Reilly, $7.82M
8. Saudi Aramco (BUMN Saudi), pendapatan $197.9 billion/tahun
10. ConocoPhillips, pendapatan $187.4 billion/tahun, gaji CEO, James Mulva, $6.88M
Total dari perusahaan itu saja (10
perusahaan teratas versi Forbes 500) yang juga beroperasi di Indonesia
mengelola kekayaan alam kita, itu US$ 1.655 milyar atau sekitar 17 ribu
trilyun/tahun. Di antaranya berasal dari kekayaan alam Indonesia. Jumlah
itu 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai Rp
1.037 Trilyun.
Dari data di atas, cukup aneh jika
Indonesia yang katanya untuk Migas dapat 85% (kalau Pertambangan lain
Indonesia memang cuma dapat 15%) dan asing cuma 15% ternyata dapat tidak
lebih dari Rp 350 trilyun/tahun dari Migas sementara 6 perusahaan migas
tersebut yang “cuma” dapat 15% bisa mendapat Rp 17.000 Trilyun! Atau
5.600% lebih! Menurut nalar saya itu tidak masuk di akal.
Itu belum dari berbagai perusahaan
lain seperti Freeport, Newmont, BHP, dsb yang menguasai emas, perak,
tembaga, nikel, dsb di Indonesia. Bisa jadi total penerimaan mereka
sekitar Rp 30 Ribu Trilyun/tahun.
Ada yang menyebut bahwa selain yang
15% itu, pihak asing juga mengklaim “Cost Recovery” untuk eksplorasi
migas dan juga operasional sehingga besarnya bisa mencapai 30-40%.
Selain itu besar migas yang diproduksi juga tidak jelas. Amien Rais
berkata, “Jika dari perusahaan migas langsung gasnya disalurkan melalui
pipa ke Singapura, bagaimana kita tahu berapa gas yang sebenarnya
diproduksi?”
Perbedaan signifikan besarnya angka
pendapatan yang diperoleh 6 perusahaan Migas dengan minimnya pendapatan
yang diperoleh bangsa Indonesia harusnya menjadi satu indikasi yang
harus diinvestigasi.
Freeport yang sekedar “Tukang
Cangkul” di Papua mendapat royalti emas dan perak sebesar 99%, sementara
lebih dari 230 juta rakyat Indonesia yang merupakan pemilik tambang
emas dan perak cuma diberi 1%. Menkeu Agus Martowardojo juga menyatakan
bahwa ada ilegal ekspor tambang. Penambang asing cuma mengaku mengekspor
5 juta ton hasil tambang. Sementara data impor tambang tersebut di luar
negeri dari Indonesia mencapai 20 juta ton:
Jadi jika ternyata yang diakui asing
jumlahnya cuma 1/4, dan dari 1/4 itu Indonesia hanya diberi 1%,
Indonesia itu cuma dapat 0,25% dari hasil tambang emas, perak, dsb.
Inilah sebabnya kenapa negeri Indonesia yang kaya dengan hasil alamnya,
ternyata mayoritas rakyatnya hidup miskin dan melarat.
Arab Saudi cukup cerdas
menasionalisasi perusahaan Aramco tahun 1974. Tahun 1970-an, Arab Saudi
masih termasuk negara miskin. Kekayaan alam mereka berupa minyak tidak
dapat mensejahterakan mereka karena dikuasai perusahaan AS, Aramco.
Namun sejak raja Faisal menasionalisasi Aramco, maka seluruh hasil
minyak dapat dinikmati oleh rakyat Saudi Arabia. Jumlah uang yang masuk
untuk pembangunan pun berlimpah sehingga listrik di sana gratis,
sementara bensin cuma Rp 1700/liter. Ini jauh lebih murah ketimbang
Indonesia yang Rp 4.500/liter saja sudah ribut soal kurangnya subsidi
karena 90% migas kita dikuasai perusahaan migas asing.
Foto di atas adalah foto Masjidil
Haram saat Arab Saudi masih dilanda kemiskinan meski saat itu mereka
sudah memproduksi minyak lewat perusahaan AS, Aramco. Foto di bawah
adalah foto Masjidil Haram saat Arab Saudi kaya setelah menasionalisasi
Aramco:
Chavez presiden Venezuela juga
menasionalisasi perusahaan migas di sana sehingga Venezuela yang
merupakan negara penghutang terbesar, sekarang rasio hutangnya hanya
kurang dari 40% total GDPnya. Di bawah Indonesia yang rasio hutangnya
sudah mencapai 68% dari GDP dan terus bertambah sekitar Rp 100
trilyun/tahun. Kuwait dan Qatar juga mengandalkan BUMN mereka untuk
mengelola kekayaan alamnya sehingga tidak bocor ke asing.
Akibatnya negara mereka makmur.
Ketika saya tinggal di Arab Saudi selama 6 bulan di rumah satu warga
negaranya, di sana bukan cuma bensin lebih murah, tapi sekolah, listrik,
rumah sakit gratis. Bahkan di sana kalau kuliah diberi uang saku.
Negara-negara yang maju/makmur
seperti AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dsb itu tidak
pernah menyerahkan kekayaan alam mereka ke asing. Mereka mengelola
sendiri kekayaan alam mereka. Qatar dan Kuwat meski SDMnya sedikit,
mereka tetap buat BUMN sendiri. Tenaga ahli mereka cari dari luar negeri
termasuk dari Indonesia. Coba lihat Kompas Sabtu-Minggu di kolom
lowongan kerja, banyak iklan lowongan kerja dari BUMN Qatar, Kuwait, dsb
yang mencari ahli migas dari Indonesia. Dan memang SDM Migas Indonesia
cukup ahli dan melimpah karena sebagian besar pekerja di perusahaan
migas asing di Indonesia juga merupakan putra-putri Indonesia.
Bahkan Malaysia pun yang serumpun
dengan kita dengan jumlah penduduk lebih sedikit dan di bawah kita
kualitas SDMnya tetap mengelola sendiri migas mereka via BUMNnya
Petronas sehingga 4 kali lipat lebih makmur dari kita. Gedung Petronas
pun berdiri megah sebagai gedung tertinggi kedua di dunia sebagai bukti
nyata keberhasilan BUMN tersebut.
Selama kekayaan alam Indonesia masih dinikmati oleh asing, Indonesia tidak akan pernah bebas dari kemiskinan.
Tidak ada satu bangsa pun yang maju
dan sejahtera yang menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Jika
kita lihat negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis,
Jerman, Swis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, dan sebagainya,
mereka tidak mau menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Harusnya
ekonom Indonesia berjuang agar Indonesia bisa mandiri. Bisa berdikari.
AS, Inggris, Perancis, Belanda, dsb maju dan makmur karena selain
mengelola kekayaan alamnya sendiri, mereka juga menguras kekayaan alam
negara lain. Tak heran jika Anggaran Belanja Militer AS saja mencapai
US$ 655 Milyar/tahun atau Rp 6.550 Trilyun/tahun sementara Anggaran
Belanja Militer Indonesia cuma Rp 36 Trilyun saja. Kurang dari 1%
anggaran AS!
Bukan justru membujuk
rakyat/pemerintah agar Indonesia tidak mandiri dan bergantung kepada
perusahaan2 asing yang ternyata justru memperkaya perusahaan dan direksi
mereka sendiri
Oleh karena itu, dari Rp 30 Ribu
Trilyun/tahun yang didapat perusahaan-perusahaan asing tersebut, bisa
jadi 10-20% berasal dari kekayaan alam Indonesia atau minimal Rp 3.000
Trilyun/tahun.
Saat ini APBN Indonesia hanya sekitar
Rp 1.000 trilyun untuk 240 juta rakyat Indonesia. Artinya tiap orang
hanya mendapat sekitar US$ 34/bulan. Masih di bawah garis kemiskinan
Bank Dunia yang US$ 60/bulan/orang. Tak heran Indonesia tidak punya
cukup uang untuk mensejahterakan rakyat, memberi pendidikan yang
terjangkau dari SD hingga Perguruan Tinggi, memberi layanan Rumah Sakit
yang terjangkau, Pembaruan Alutsista, menyelamatkan anak-anak jalanan,
dan sebagainya.
Bayangkan seandainya Indonesia
mandiri dan mendapat tambahan Rp 3.000 trilyun dari hasil kekayaan
alamnya sehingga APBN kita menjadi Rp 4.000 trilyun/tahun. Artinya ada
US$ 138/bulan untuk setiap orang. Seluruh penduduk Indonesia bisa lepas
dari garis kemiskinan VERSI BANK DUNIA yang US$ 60/bulan. Indonesia bisa
melunasi hutangnya yang Rp 1.600 trilyun dengan mudah. Indonesia tidak
perlu menunggu-nunggu “INVESTOR ASING” untuk membangun negerinya.
Segala janji bahwa pendidikan murah,
layanan Rumah Sakit murah, pembaruan alutsista, atau pun mensejahterakan
rakyat itu hanya omong kosong belaka jika Presiden kita tidak mau
mandiri mengelola kekayaan alam Indonesia. Indonesia tidak akan punya
cukup uang selama hasil kekayaan alam kita yang menikmati justru
Kompeni-kompeni gaya baru yang didukung oleh pemerintah mereka.
Lihat video di mana Kompeni gaya baru
yang didukung AS dan Inggris turut campur untuk menguasai kekayaan alam
Indonesia sehingga 1 juta korban tewas:
Indonesia butuh pemimpin yang bijak
dan berani seperti Raja Faisal dari Arab Saudi dan Hugo Chavez dari
Venezuela yang berani menasionalisasi perusahaan pertambangan asing dan
mandiri mengelola kekayaan alamnya.
(Penambangan Freeport di bumi Indonesia)