SEKILAS INFO ...1. Jadwal UBK Tahun Pelajaran 2017-2018 dilaksanakan pada tanggal 10 - 13 April 2018 .....2.Bagi para alumni diharapkan mengirimkan biodata disertai foto (bebas/resmi) untuk diupload ke web sekolah, format pengisiannya dapat di download di web (klik info, download, formulir alumni)...…

Pengarahan dari Polsek

Pengarahan rutin dari Polsek Citamiang untuk pengendalian dari kenakalan remaja melalui bela negara ...

Akreditasi 2013

Akreditasi sekolah untuk SMAPY tahun 2013 dengan nilai baik dan memuaskan ....

Ujian Nasional Berbasis Komputer

Pertama kalinya SMA PGRI 1 Kota Sukabumi Menyelenggarakan Ujian Berbasis Komputer.

Studi Banding OJL 2012

Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, maka pemerintah menunjuk SMAPY untuk studi banding ke SMAN 1 Bogor .....

Kegiatan KBM

KBM rutin yang dilaksanakan SMAPY meliputi KBM rutin, eskul, bimbingan konseling dsb .....

Tawuran Marak akibat Pendidikan Lebih Utamakan Otak

Pengamat pendidikan Arief Rachman juga turut berkomentar mengenai kejadian tawuran yang terus terjadi di Jakarta.

Menurutnya, kelemahan pendidikan saat ini terjadi karena tidak dibarengi dengan pendidikan karakter untuk mengasah budi pekerti para pelajar.

"Sekarang itu pendidikan yang diutamakan bukan sikap dan perilaku yang baik, menyebabkan timbulnya perilaku keras," kata Arief kepada Beritasatu.com, Rabu (26/9).

Ia menilai, kekerasan yang terjadi ada prosesnya. Tetapi, katanya, tidak pernah ada kepedulian akan metode pembelajaran yang terlalu mengutamakan kekuatan otak dibanding budi pekerti. 

Selain itu, menurutnya, materi kesuksesan saat ini semua diukur dari kedudukan dan kekayaan sehingga orang sibuk bersekolah tanpa memperhatikan pendidikan karakter.

Tawuran pelajar terjadi secara beruntun. Mulai dari Senin (24/9), seorang siswa tewas akibat tawuran di SMU 70 dan SMU 6 di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Akibatnya, siswa kelas X SMA Negeri 6 Jakarta yaitu Alawy Yusianto Putra (15) tewas akibat disabet celurit oleh siswa SMA Negeri 70.

Belum usai penyelesaian kasus itu dilakukan, insiden tawuran terjadi lagi hari ini, Rabu (26/9), di dua tempat berbeda, yaitu di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan, dan di Condet, Jakarta Timur.

Tawuran di Jalan Minangkabau terjadi antara siswa SMA Kartika Zeni dengan SMA Yayasan Karya 66 menewaskan satu pelajar. Sementara tawuran di Condet mengakibatkan satu orang kritis di RS UKI.

Arief mengatakan, hukuman keras juga harus diberikan untuk memberi efek jera bagi pelajar yang kerap melakukan tawuran.

"Jangka pendek, siswa yang terlibat tawuran harus mendapat hukuman keras. Tapi kalau jangka panjang banyak yang masih harus dilakukan," pungkasnya.

Pendapat serupa dikemukakan pula oleh psikolog Henni Norita dari Lembaga Psikologi Hikari. Ia mengatakan, sedikitnya ada empat faktor psikologis mengapa remaja terlibat perkelahian pelajar, yaitu:

Faktor Internal

Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya.

Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara singkat untuk memecahkan masalah.

Pada remaja yang sering berkelahi ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan sebagian dari mereka mungkin memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.

Faktor Keluarga dan Pola Asuh

Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan -- entah antarorangtua atau pada anaknya -- jelas berdampak pada anak.

"Nah, Anak ketika meningkat remaja, belajar melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik," jelas Henni kepada Beritasatu.com.

Begitu bergabung dengan teman-temannya, lanjut dia, akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.

Faktor Sekolah

Sekolah, menurut Henni, pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya.

Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dan sebagainya) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Barulah setelah itu masalah kualitas pendidikannya, di mana guru jelas memainkan peranan terpenting.

Faktor Lingkungan

Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, lanjut Henni, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk. Di antaranya, narkoba, tayangan kekerasan di TV yang hampir setiap hari disaksikan.

"Begitu pula sarana tranportasi umum yang sering menomorsekiankan pelajar juga ikut berkontribusi dalam masalah ini," imbuhnya.

Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

"Terutama untuk perbuatan-perbuatan anti sosial dan kekerasan seperti yang sering ditayangkan di TV. Misalnya: film laga yang penuh darah, yang semuanya itu sadar atau tidak bisa memicu tindak kekerasan pada remaja," tambah Henni.

Rasa solidaritas kelompok yang tinggi pada para pelajar SMU, bukan hanya terjadi ketika mereka senang, melainkan juga terjadi saat-saat duka, ada ancaman, kesulitan dan sebagainya.

Lantas, upaya pencegahan seperti apa yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua, guru dan atau psikolog bisa lakukan menghadapi masalah ini?  Henni menjabarkan sebagai berikut:

Orangtua

Orangtua harus bisa memahami tugas-tugas perkembangan remaja. Tidak hanya itu, mereka juga harus bisa mengenal ciri-ciri khusus pada remaja, dan mengetahui kerawanan-kerawanan dalam perkembangan psikologis dan fisik remaja.

Selain itu, mereka juga harus bisa bersikap lebih bijaksana dalam menghadapi anaknya, tidak otoriter, tidak terlalu melindungi anak terutama para remaja, serta menanamkan pendidikan agama dan pendidikan nilai moral sedini mungkin.

Tidak kalah penting adalah orangtua memerhatikan pendidikan anaknya, baik di rumah maupun di sekolah, membantu pemanfaatan waktu luang, serta membiasakan anak menerima keadaan sosial, ekonomi apapun adanya.

"Buku bacaan dan film yang ditonton oleh anaknya pun harus diperhatikan. Begitu pula dengan pergaulannya, orangtua juga harus tahu  siapa saja teman atau gengnya. Dari situ mereka bisa mengontrol atau memberikan masukan mengenai teman-teman yang diakrabinya," jelas Henni merinci.

Guru atau Psikolog

Mereka harus memberi masukan kepada sekolah mengenai penataan kurikulum yang menempatkan pendidikan nilai dan moral serta agama yang mendapat porsi cukup. Pun ikut serta mengupayakan situasi belajar yang kondusif dan menarik, serta tidak bersikap otoriter dan melakukan kekerasan dalam proses pembelajaran.

"Guru juga tak hanya mengajar, tapi juga mendidik dan membimbing siswa. Begitu pula dengan guru pembimbing (psikolog), hendaknya peka terhadap gejala yang akan terjadi pada siswanya. Mereka juga harus mengetahui serta memahami tugas-tugas perkembangan siswa," jelas Henni yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah Hikari Montessori School, Bintaro, Tangerang.

Dengan begitu diharapkan, para guru atau psikolog dapat menangani penyimpangan perkembangan psikologis para pelajar dengan cara yang lebih tepat dan akurat